Jumat, 30 Oktober 2009

Mohammad Nuh Menteri Pendidikan Nasional Indonesia

Mohammad Nuh Menteri Pendidikan Nasional Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II

Prof. Dr. Ir. KH. Mohammad Nuh, DEA (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 17 Juni 1959; umur 50 tahun) adalah Menteri Pendidikan Nasional Indonesia sejak 22 Oktober 2009. Sebelumnya ia menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (2007–2009) dan rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya periode tahun 2003–2006.


Biografi Mohammad Nuh

Mohammad Nuh adalah anak ketiga dari 10 bersaudara. Ayahnya H. Muchammad Nabhani, adalah pendiri Pondok Pesantren Gununganyar Surabaya. Ia melanjutkan studi di Jurusan Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, dan lulus tahun 1983.


Mohammad Nuh mengawali karirnya sebagai dosen Teknik Elektro ITS pada tahun 1984. Ia kemudian mendapat beasiswa menempuh magister di Universite Science et Technique du Languedoc (USTL) Montpellier, Perancis. Mohammad Nuh juga melanjutkan studi S3 di universitas tersebut.


Mohammad Nuh menikah dengan drg. Layly Rahmawati, dan ia dikaruniai seorang puteri bernama Rachma Rizqina Mardhotillah, yang lahir di Perancis.


Pada tahun 1997, Mohammad Nuh diangkat menjadi direktur Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) ITS. Berkat lobi dan kepemimpinannya, PENS menjadi rekanan terpercaya Japan Industrial Cooperation Agency (JICA) sejak tahun 1990.


Pada tanggal 15 Februari 2003, Mohammad Nuh dikukuhkan sebagai rektor ITS. Pada tahun yang sama, Mohammad Nuh dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) bidang ilmu Digital Control System dengan spesialisasi Sistem Rekayasa Biomedika. Mohammad Nuh adalah rektor termuda dalam sejarah ITS, yakni berusia 42 tahun saat menjabat. Semasa menjabat sebagai rektor, Mohammad Nuh menulis buku berjudul Startegi dan Arah Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (disingkat Indonesia-SAKTI).


Selain sebagai rektor, Mohammad Nuh juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Timur, Pengurus PCNU Surabaya, Sekretaris Yayasan Dana Sosial Al Falah Surabaya, Anggota Pengurus Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya, serta Ketua Yayasan Pendidikan Al Islah Surabaya. Muhammad Nuh juga dikenal sebagai seorang Kiayi, sering memberi ceramah dan khutbah jumat di berbagai masjid di Surabaya dan dikenal sebagai Ulama.


sumber: www.id.wikipedia.org

Prokrastinasi akademik, kenapa tidak?

Prokrastinasi akademik, kenapa tidak?


Mungkin menjadi judul yang kontroversial, tapi apa boleh dikata bahwa pada kenyataannya memang banyak pelajar yang melakukan prokrastinasi akademik. Pelaku-pelaku prokrastinasi akademik memang tidak pandang bulu, mulai dari pelajar tingkat rendah sampai mahasiswa tingkat doktoral pasti pernah mengalami prokrastinasi akademik, namun dengan tingkat yang berbeda-beda.

Sebenarnya apa sih prokrastinasi akademik itu?

Prokrastinasi akademik terdiri dari dua suku kata yaitu prokrastinasi dan akademik. Prokrastinasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin procrastination dengan awalan “pro” yang berarti mendorong maju atau bergerak maju dan akhiran “crastinus” yang berarti keputusan hari esok, sehingga jika digabungkan menjadi “menangguhkan atau menunda sampai hari berikutnya.” Sedangkan akademik merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran dan ilmu pengetahuan. Jadi dapat disimpulkan bahwa prokrastinasi akademik merupakan perilaku menunda-nunda pada tugas akademik.

Memang perilaku menunda-nunda atau dalam khasanah psikologi yaitu prokrastinasi ini bisa terjadi oleh semua orang dan dalam seluruh aspek kehidupan. Prokrastinasi bukan hanya terjadi dalam ranah akademik, prokrastinasi bisa juga terjadi dalam konteks pekerjaan. Namun kali ini yang lebih ditekankan adalah prokrastinasi akademik karena tidak dapat kita pungkiri bahwa prokrastinasi akademik mempunyai korelasi terhadap kinerja akademik. Pada orang-orang yang memiliki kecenderungan melakukan prokrastinasi, ditemukan korelasi yang positif dengan kecemasan, depresi, tingkat stress yang tinggi dan kesehatan yang lebih buruk. Akibatnya, prokrastinasi akademik memiliki korelasi yang negatif dengan kinerja dan prestasi. Oleh karena itu apabila dibiarkan akan mempunyai dampak yang lebih besar.

Jadi pikirkan kembali apakah prokrastinasi akademik pantas untuk dilakukan?


Hasarphi Mitra

aktivis pendidikan

Rabu, 28 Oktober 2009

International Curriculum The “It” Thing

International Curriculum The “It” Thing

One day, I went to this “Arisan”, an Indonesian custom where people, especially ladies, stay in touch and show what they have bought, talk about where to buy it, the latest discounts. This gathering is full of upper- middle class women with their children. Then I asked this woman who was wearing Louis Vuitton bag and has three children, “What school

do they go to?” She answered with no doubt and a bit high tone, ”My children go to a private school with an international curriculum. They study in English and they could read fast after the first year in the kindergarten”. After hearing what she said, I remember when I was 4 years old I couldn’t even say a word in English. But I feel I am doing just fine by now. What is with this international curriculum?
Since there is globalization, where there is a great movement of people, goods, capital and ideas due to increased economic integration, education is also became a trade comodity of the global market, including in Indonesia. This is a result of being one of the countries that signed the WTO formation and General Agreement on Trade in services (GATS). Besides trade commodity, education is considered as the most important matter for the progress of a country. On the basis of improved developing country and as a trade commodity, a school with an international curriculum is becoming very popular in Indonesia. Private schools may either use international curriculum to increase education quality or being a component to sell the school with the expensive price. With a litle help of promotion in the media about how good schools adopt international curriculum, it becomes as popular as fashion trends in mother’s discussions. One of the most important yet interesting chit chat among mothers is their children's education. International curriculum adopted in their children's school has become a new form of pride, or something they can brag about.
Although these international based schools supposed to give better education for their students (as they “promised”), it's not commonly well adapted in the local cultures. Thus, it weakened the student’s understandings of their local surroundings. One child even could speak better in English than in Bahasa Indonesia. Yet, this international curriculum is the “it thing”, or the current trend in Indonesia. As a country with a “me too” culture, mothers choose international curriculum based schools just for the sake of keeping up with the trend. Having said their children being in a school with an international curriculum is like wearing a Prada shoes and Cartier jewelry at an Arisan. It is a kind of luxury in this society. So maybe, two years from now, you can find schools advertisement in a fashion magazine like Elle. (ET)


International Curriculum The “It” Thing

Efrata Tampubolon

Aktivis Pendidikan

sumber: psikopend.com

Senin, 26 Oktober 2009

Sekolah Alam Versus SD Inpres

Sekolah Alam Versus SD Inpres

Hakikat Pendidikan
Kita tahu bahwa ada banyak definisi pendidikan. Ini jelas menunjukkan bahwa pendidikan dipandang sebagai hal yang sangat penting, sehingga banyak pihak yang merasa perlu untuk memberikan definisi -- pengertian atau memaknainya.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Namun, Praktek pendidikan justru menghasilkan “manusia mesin”, karena proses pendidikan tidak untuk menuntut pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya, melainkan sekedar transfer ilmu dari guru ke siswa yang menekankan pada aspek kognitif peserta didik.
Pendidikan Alternatif
Gambaran Pendidikan ini menimbulkan keinginan berbagai kalangan untuk mendesain suatu pendidikan alternatif. Ada yang bertujuan murni untuk memperbaiki pendidikan ada juga yang mengambil untung dengan membuka usaha sekolah alternatif.
Menurut wikipedia, pendidikan alternatif adalah istilah yang dipakai untuk semua bentuk pendidikan yang tidak tradisional (untuk semua usia dan tingkatan pendidikan). Termasuk bentuk pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dan bentuk pendidikan untuk semua kalangan yang mengaplikasikan filosofi dan atau metode yang alternatif.
Defenisi pendidikan alternatif tersebut membuat setiap lembaga atau yayasan sah-sah saja mengatakan bahwa sekolah mereka alternatif, karena penampakannya telah didesain berbeda dari sekolah konvensional biasa. Orangtua yang ingin anaknya mendapatkan pendidikan bermutu rela membayar mahal untuk harga bersekolah yang alternatif. Padahal jika ditilik lebih kedalam, banyak “sekolah alternatif” mahal itu memiliki ideologi, filosofi, metode yang sama atau bahkan masih mencontek kurikulum tradisional yang dikeluarkan oleh departemen Pendidikan Nasional. Sekolah menjadi lebih menjual karena iming-iming bahwa kurikulum mereka merupakan hasil ramuan kurikulum Nasional, Kurikulum british dan kurikulum Amerika.
Sekolah Alam VS SDN 002 Kuala Terusan
Sekolah alam merupakan salah satu jenis pendidikan alternatif yang lagi marak dibicarakan di Indonesia saat ini. Sekolah alam mendadak menjadi trend baru pendidikan alternatif, harga mahal hal yang biasa untuk mendapatkan mutu dari sekolah bermutu ini, mungkin begitu pendapat sebagian orangtua yang berduit. Saya tidak menolak, sekolah alam jika dilihat sekilas memang sangat alternatif,
namun perlukah mengeluarkan harga sangat mahal untuk bersekolah agar anak-anak semakin dekat dengan alam.
4 tahun yang lalu, apa yang ditawarkan oleh sekolah alam telah saya temukan dengan harga yang sangat murah sehingga setiap orang bisa bersekolah disitu. SD yang bernama SDN 002 Kuala Terusan ini adalah kajian penelitian Saya di tahun 2003.
Sekolah Alam didirikan dengan keinginan untuk mengubah paradigma bahwa sekolah yang berkualitas selalu mahal. Untuk mengubah hal tersebut diperlukan sistem pendidikan yang berkualitas dan terjangkau, tidak bergantung pada alat peraga yang relatif mahal, tetapi mengacu pada alam sebagai sumber ilmu pengetahuan. Sedangkan SDN 002 Kuala Terusan tidak pernah menjanjikan kualitas, namun menjanjikan biaya yang sangat terjangkau bagi setiap siswa. Alam sekitar dapat digunakan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan tempat tumbuh kembang siswa (alam sebagai alat peraga bukanlah hal yang dibuat atau direncanakan, alam yang dipakai sepenuhnya telah tersedia tanpa sengaja didesain oleh manusia). Sekolah ini ada karena keinginan masyarakat untuk menyekolahkan anak mereka, sekurang-kurangnya anak mereka mengerti baca tulis. Sekolah Alam dan SD 002 Kuala terusan sama-sama menjanjikan biaya yang terjangkau.
Pada Sekolah Alam, Setiap siswa dikenai biaya pendaftaran Rp. 6.000.000, biaya daftar ulang setiap tahun Rp.1.500.000 dan biaya setiap bulan Rp.450.000 (Pada tahun ajaran 2006-2007). SDN 002 Kuala Terusan dengan biaya pendaftaran Rp. 75.000, biaya setiap tahun berupa sumbangan sukarela, biaya setiap bulan Rp.7.500 (tahun ajaran 2003/2004). Jika bandingkan keadaan ekonomi keluarga Indonesia saat ini, tentu kita sepakat SDN 002 Kuala Terusan adalah Sekolah Dasar yang benar-benar terjangkau, lantas bagaimana dengan sekolah alam ? terjangkau untuk siapakah sekolah alam ini? Sebandingkah kualitas yang diberikan dengan biaya yang ‘terjangkau’ ini ?
Tenaga pengajar sekolah alam merupakan lulusan PTN yang diharapkan memiliki wawasan pendidikan dan wawasan lingkungan. Memiliki akhlaq yang baik, cinta anak-anak, kreatif dan inovatif, mempunyai kompetensi dalam bahasa dan dapat menjadi fasilitator yang baik adalah kompetensi yang harus dimiliki. Tenaga pengajar yang dinilai berkualitas ini tentu diperhatikan kesejahteraan hidupnya, gaji yang cukup dan pasti diterima setiap bulan, berbagai tunjangan kesejahteraan. Guru SDN 002 Kuala Terusan adalah lulusan sekolah pendidikan guru (SPG) sederajat bahkan hanya lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan jumlah yang sangat terbatas, tidak ada persyaratan khusus/ kompetensi yang
harus dimiliki oleh guru. Kedua sekolah ini memiliki kriteria guru yang sangat berbeda dan hal ini akan sangat memperngaruhi keberlangsungan proses belajar mengajar di kedua Sekolah.
Fasilitas yang ditawarkan sekolah alam adalah luas tanah : 6900 m2, saung kelas : 7 bangunan saung dengan 14 lokal belajar, saung kantor besar, lahan play ground, lahan kebun dan ternak, fasilitas out bound, lapangan rumput, empang, rumah pohon, masjid, recycle stuff room. SDN 002 Kuala Terusan memiliki 5 ruangan kelas, 4 kelas dipakai untuk kelas 1-6, 1 kelas untuk ruang guru dan kepala sekolah, lapangan yang sangat luas, seluruh fasilitas desa ( Masjid, sungai, empang, ladang, aula desa, perumahan penduduk). Semua yang terdapat di desa dapat dimanfaatkan oleh sekolah, karena tidak ada pemisahan yang jelas tentang areal sekolah.
Sekolah alam menekankan bahwa siswa bukan belajar untuk mengejar nilai, tetapi mereka belajar untuk bisa memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penyampaian pembelajaran, 70% kegiatan pembelajaran di Sekolah Alam merupakan outdoor activity dan 30% lainnya adalah indoor activity. Materi pembelajaran disampaikan secara active dan fun. Bagaimana tujuan tersebut diterapkan disekolah alam ?
Tanpa tujuan tertulis seperti itu, SD Inpres langsung pada penerapannya. Sekolah dimulai pukul: 08.00, jika cuaca bersahabat. Diskusi kelas dimulai jika guru bersekolah atau hanya bermain dikelas sambil mendengarkan penjelasan teman. Jika tidak ada tugas dari guru, maka seharian penuh kita hanya akan berolahraga seperti: lari, sepak bola, bola kasti, senam atau bermain permainan lokal seperti pecah piring, patuk lele, cakbur atau galah panjang.
Jenis tanah merah yang apabila turun hujan membuat tanah basah dangat lembek, kaki kami akan terbenam sampai lutut (kaki siswa SD kelas 3), sekolah dimulai jam 9 pagi dan biasanya kita bertemu hanya untuk bermain-main saja.
Sebagian besar siswa SD Inpres adalah petani sekaligus pekerja harian di perkebunan sawit, orangtua bekerja dari pagi sampai sore, hal ini membuat siswa ynag memiliki adik bayi diperbolehkan membawa adiknya yang masih balita itu untuk dijaga di sekolah, biasanya jika adik bayi tidur maka akan dibaringkan dimeja yang dibuat bersusun di belakang kelas untuk beberapa balita.
Jika tidak ada kegiatan lagi di sekolah, Siswa biasanya pergi menangkap belalang atau mencari sarang burung untuk diambil telurnya atau menangkap kumbang dan diikat kepalanya dengan benang, jika musim layang-layang, Siswa akan membawa layang-layang ke sekolah dan bermain layang-layang
sepulang sekolah di lapangan desa. Semua kegiatan tersebut dilakukan oleh laki-laki mapun perempuan tanpa memandang jenis kelamin mereka.
Sore hari setelah selesai mandi, pada siswa bertemu kembali untuk bermain atau bercerita, atau memancing atau bermain permainan yang tidak terlalu mengeluarkan keringat seperti bermain gambar, karet yeye atau menonton bersama (listrik belum masuk desa, masih sedikit yang memiliki Tv hitam putih).
Jika dilihat dari pengertian pendidikan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya. Sekolah Dasar Inpres telah dan selalu melakukan interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya. Bagaimana dengan Sekolah alam?
Lalu apakah yang membedakan pendidikan alternatif sekolah alam dan SD Inpres ? hanya biaya barangkali.



Efrata Tampubolon

Aktivis Pendidikan


sumber : psikopend.com

Hakikat Belajar

Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar. Lantas, apa sesungguhnya belajar itu ?



Di bawah ini disampaikan tentang pengertian belajar dari para ahli :

* Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.

* Witherington (1952) : “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”.
* Crow & Crow dan (1958) : “ belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”.
* Hilgard (1962) : “belajar adalah proses dimana suatu perilaku muncul perilaku muncul atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi”
* Di Vesta dan Thompson (1970) : “ belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman”.
* Gage & Berliner : “belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang yang muncul karena pengalaman”

Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :

1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).

Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi Pendidikan.

2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).

Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.

3. Perubahan yang fungsional.

Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.

4. Perubahan yang bersifat positif.

Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.

5. Perubahan yang bersifat aktif.

Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.

6. Perubahan yang bersifat pemanen.

Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.

7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.

Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.

Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.

Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk :

1. Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.
2. Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
3. Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
4. Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan vertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.
5. Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.

Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :

1. Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar.
2. Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.
3. Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.
4. Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.
5. Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).
6. Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.
7. Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).
8. Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu.
9. Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.

Sedangkan menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar meliputi perubahan dalam kawasan (domain) kognitif, afektif dan psikomotor, beserta tingkatan aspek-aspeknya.

Sumber : akhmadsudrajat.wordpress.com

Kontribusi Psikologi terhadap Pendidikan

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sudah sejak lama bidang psikologi pendidikan telah digunakan sebagai landasan dalam pengembangan teori dan praktek pendidikan dan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pendidikan, diantaranya terhadap pengembangan kurikulum, sistem pembelajaran dan sistem penilaian.

1. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum.

Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar mengajar. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, pada intinya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in put, proses dan out pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik.
Secara psikologis, manusia merupakan individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan serta karakterisktik-karakteristik individu lainnya.
Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun metode penyampaiannya.
Secara khusus, dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah kurikulum berbasis kompetensi, yang pada intinya menekankan pada upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis terutama berkenaan dengan aspek-aspek: (1) kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; (2) pengalaman belajar siswa; (3) hasil belajar (learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa

2. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran

Kajian psikologi pendidikan telah melahirkan berbagai teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal adanya sejumlah teori dalam pembelajaran, seperti : teori classical conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori kognitif dan teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas dari kontroversi yang menyertai kelemahan dari masing masing teori tersebut, pada kenyataannya teori-teori tersebut telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam proses pembelajaran.
Di samping itu, kajian psikologi pendidikan telah melahirkan pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi kegiatan pembelajaran Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan tiga belas prinsip dalam belajar, yakni :

1. Agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan
2. Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan oleh orang lain.
3. Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
4. Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
5. Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil sambilan.
6. Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
7. Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual namun termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
8. Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
9. Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta lepas secara verbalistis.
10. Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain.
11. Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
12. Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.
13. Belajar hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.

3. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Penilaian

Penilaiain pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui kajian psikologis kita dapat memahami perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.
Di samping itu, kajian psikologis telah memberikan sumbangan nyata dalam pengukuran potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik, terutama setelah dikembangkannya berbagai tes psikologis, baik untuk mengukur tingkat kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu lainnya.Kita mengenal sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak digunakan untuk mengukur potensi seorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differensial Aptitude Tes (DAT), EPPS dan alat ukur lainnya.
Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, memiliki arti penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yang bersangkutan sehingga pada gilirannya dapat dicapai perkembangan individu yang optimal.

Oleh karena itu, betapa pentingnya penguasaan psikologi pendidikan bagi kalangan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

Sumber : akhmadsudrajat.wordpress.com

Psikologi Pendidikan dan Guru

Secara etimologis, psikologi berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa atau nafas hidup, dan “logos” atau ilmu. Dilihat dari arti kata tersebut seolah-olah psikologi merupakan ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Jika kita mengacu pada salah satu syarat ilmu yakni adanya obyek yang dipelajari, maka tidaklah tepat jika kita mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa, karena jiwa merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak bisa diamati secara langsung.

Berkenaan dengan obyek psikologi ini, maka yang paling mungkin untuk diamati dan dikaji adalah manifestasi dari jiwa itu sendiri yakni dalam bentuk perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, psikologi kiranya dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Psikologi terbagi ke dalam dua bagian yaitu psikologi umum (general phsychology) yang mengkaji perilaku pada umumnya dan psikologi khusus yang mengkaji perilaku individu dalam situasi khusus, diantaranya :

* Psikologi Perkembangan; mengkaji perilaku individu yang berada dalam proses perkembangan mulai dari masa konsepsi sampai dengan akhir hayat.
* Psikologi Kepribadian; mengkaji perilaku individu khusus dilihat dari aspek – aspek kepribadiannya.
* Psikologi Klinis; mengkaji perilaku individu untuk keperluan penyembuhan (klinis)
* Psikologi Abnormal; mengkaji perilaku individu yang tergolong abnormal.
* Psikologi Industri; mengkaji perilaku individu dalam kaitannya dengan dunia industri.
* Psikologi Pendidikan; mengkaji perilaku individu dalam situasi pendidikan

Disamping jenis – jenis psikologi yang disebutkan di atas, masih terdapat berbagai jenis psikologi lainnya, bahkan sangat mungkin ke depannya akan semakin terus berkembang, sejalan dengan perkembangan kehidupan yang semakin dinamis dan kompleks.
Psikologi pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu ilmu karena didalamnya telah memiliki kriteria persyaratan suatu ilmu, yakni :

* Ontologis; obyek dari psikologi pendidikan adalah perilaku-perilaku individu yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan pendidikan, seperti peserta didik, pendidik, administrator, orang tua peserta didik dan masyarakat pendidikan.
* Epistemologis; teori-teori, konsep-konsep, prinsip-prinsip dan dalil – dalil psikologi pendidikan dihasilkan berdasarkan upaya sistematis melalui berbagai studi longitudinal maupun studi cross sectional, baik secara pendekatan kualitatif maupun pendekatan kuantitatif.
* Aksiologis; manfaat dari psikologi pendidikan terutama sekali berkenaan dengan pencapaian efisiensi dan efektivitas proses pendidikan.

Dengan demikian, psikologi pendidikan dapat diartikan sebagai salah satu cabang psikologi yang secara khusus mengkaji perilaku individu dalam konteks situasi pendidikan dengan tujuan untuk menemukan berbagai fakta, generalisasi dan teori-teori psikologi berkaitan dengan pendidikan, yang diperoleh melalui metode ilmiah tertentu, dalam rangka pencapaian efektivitas proses pendidikan.

Pendidikan memang tidak bisa dilepaskan dari psikologi. Sumbangsih psikologi terhadap pendidikan sangatlah besar. Kegiatan pendidikan, khususnya pada pendidikan formal, seperti pengembangan kurikulum, Proses Belajar Mengajar, sistem evaluasi, dan layanan Bimbingan dan Konseling merupakan beberapa kegiatan utama dalam pendidikan yang di dalamnya tidak bisa dilepaskan dari psikologi.

Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang di dalamnya melibatkan banyak orang, diantaranya peserta didik, pendidik, adminsitrator, masyarakat dan orang tua peserta didik. Oleh karena itu, agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka setiap orang yang terlibat dalam pendidikan tersebut seyogyanya dapat memahami tentang perilaku individu sekaligus dapat menunjukkan perilakunya secara efektif.

Guru dalam menjalankan perannya sebagai pembimbing, pendidik dan pelatih bagi para peserta didiknya, tentunya dituntut memahami tentang berbagai aspek perilaku dirinya maupun perilaku orang-orang yang terkait dengan tugasnya,–terutama perilaku peserta didik dengan segala aspeknya–, sehingga dapat menjalankan tugas dan perannya secara efektif, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.

Di sinilah arti penting Psikologi Pendidikan bagi guru. Penguasaan guru tentang psikologi pendidikan merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai guru, yakni kompetensi pedagogik. Muhibbin Syah (2003) mengatakan bahwa “diantara pengetahuan-pengetahuan yang perlu dikuasai guru dan calon guru adalah pengetahuan psikologi terapan yang erat kaitannya dengan proses belajar mengajar peserta didik”

Dengan memahami psikologi pendidikan, seorang guru melalui pertimbangan – pertimbangan psikologisnya diharapkan dapat :

1. Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat.

Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru akan dapat lebih tepat dalam menentukan bentuk perubahan perilaku yang dikehendaki sebagai tujuan pembelajaran. Misalnya, dengan berusaha mengaplikasikan pemikiran Bloom tentang taksonomi perilaku individu dan mengaitkannya dengan teori-teori perkembangan individu.

2. Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai.

Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru dapat menentukan strategi atau metode pembelajaran yang tepat dan sesuai, dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik dan keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan tingkat perkembangan yang sedang dialami siswanya.

3. Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling.

Tugas dan peran guru, di samping melaksanakan pembelajaran, juga diharapkan dapat membimbing para siswanya. Dengan memahami psikologi pendidikan, tentunya diharapkan guru dapat memberikan bantuan psikologis secara tepat dan benar, melalui proses hubungan interpersonal yang penuh kehangatan dan keakraban.

4. Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik.

Memfasilitasi artinya berusaha untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki siswa, seperti bakat, kecerdasan dan minat. Sedangkan memotivasi dapat diartikan berupaya memberikan dorongan kepada siswa untuk melakukan perbuatan tertentu, khususnya perbuatan belajar. Tanpa pemahaman psikologi pendidikan yang memadai, tampaknya guru akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator maupun motivator belajar siswanya.

5. Menciptakan iklim belajar yang kondusif.

Efektivitas pembelajaran membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif. Guru dengan pemahaman psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan untuk dapat menciptakan iklim sosio-emosional yang kondusif di dalam kelas, sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.

6, Berinteraksi secara tepat dengan siswanya.

Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan memungkinkan untuk terwujudnya interaksi dengan siswa secara lebih bijak, penuh empati dan menjadi sosok yang menyenangkan di hadapan siswanya.

7. Menilai hasil pembelajaran yang adil.

Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan dapat mambantu guru dalam mengembangkan penilaian pembelajaran siswa yang lebih adil, baik dalam teknis penilaian, pemenuhan prinsip-prinsip penilaian maupun menentukan hasil-hasil penilaian.

sumber : akhmadsudrajat.wordpress.com

Rabu, 21 Oktober 2009

pakar pendidikan

pakar dalam bidang pendidikan, memajukan dunia pendidikan dengan perspektif psikologi pendidikan

kunjungi pula psikopend.com
meningkatkan mutu guru.